Kasih ibu…
kepada beta,
Tak
terhingga sepanjang masa,
Hanya
memberi tak harap kembali,
Bagai sang
surya menyinari dunia…
Aku benci ibuku! Entah kenapa perasaan ini selalu ada dalam hatiku. Aku benci Ibuku! Demi Tuhan! Aku menyesal kenapa harus
lahir dari ibu yang bermata satu, jika aku dapat berbicara dengan Tuhan, aku
ingin negosiasi ulang dengan-Nya untuk menghidupkanku dari rahim yang lain,
tapi sayangnya, semua itu tak bisa.
Aku benci Ibuku! Aku juga menyesali Ayah yang mati dini,
meninggalkankanku seorang diri bersama Dajjal Perempuan yang harus ku sebut
Ummi. Ayah mati tanpa meninggalkan apapun untuk kami -aku dan ibu. Aku tak
pernah tahu seperti apa rupa Ayahku, dan aku tak pernah mau tahu tentang hal itu.
Yang aku tahu sejak kematian Ayah, ibu bekerja serabutan, mencuci pakaian
tetanggga, kuli upah atau sebagainya, yang semua hasilnya ia berikan untuk
makan dan biaya sekolahku.
Tapi aku tak pernah peduli, aku tetap benci Ibuku!
Aku muak dengan kemiskinan ini, aku bersumpah
dalam hati, jika aku lulus SD nanti, aku akan ke Jakarta ,
ikut Paman bekerja di sana .
Bekerja apa saja, asal aku tetap bisa sekolah dan jadi kaya raya.
Aku bersumpah untuk mewujudkan sumpah tersebut!
***
Kejadian
ini terjadi sewaktu aku bersekolah dasar kelas enam semester dua di sebuah SD
swasta di Kabupaten Pamekasan. Pagi itu ibu mendatangiku ke sekolah. Padahal
aku sudah melarangnya sejak dulu, bahwa jangan pernah sekali – kali datang ke
sekolah.
Tapi hari itu dia benar-benar datang. Dengan senyum manis mengembang ia memasuki kelasku,
ditangannya ada rantang kecil berisi bekal makan siangku. Ketika ibu memasuki
kelas, seluruh teman – temanku ketakutan melihat wajah ibu. Wajah ibu yang buruk
rupa dan hanya memiliki satu mata. Wajahku merah padam. Aku malu luar biasa
ketika ibu menghampiriku dan menyodorkan rantang kecil itu padaku,
“Nak, bekal makan siangmu ketinggalan, ini ibu antarkan”,
ujarnya.
Aku menatapnya tajam, tanganku merampas rantang itu dari
genggamannya, lalu membangtingnnya ke lantai hingga isinya berhamburan.
Sekarang, ibu yang yang menatapku tajam, seolah-olah ia tak percaya bahwa di
depannya adalah anak laki-laki yang paling di sayanginya.
Ia schok dan tak mampu berkata apa-apa. Yang ia
lakukan hanyalah membereskan isi bekal yang berhamburan itu, lalu keluar dari
kelas dengan wajah penuh linangan air mata, ya, air mata yang mengalir dari
satu mata. Sejak saat itu aku jadi bahan olokan teman-teman sekelas, mereka
mengejekku sebagai anak Dajjal,
“Wahid, ternyata benar dugaanku, kamu itu anak Dajjal”
ejek Erwin cs, sontak seluruh siswa di kelas menyorakiku, tanpa terkecuali,
“Wahid, anak Dajjal! Wahid, anak Dajjal!".
Aku tak bisa berbuat apa-apa, tidak ada yang berempati
padaku, aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya hingga mereka lelah mengejekku.
Air mata tangis itu menyiram akar pohon kebencian dalam hatiku, pohon kebencian
pada ibu yang bermata satu.
***
Lulus
SD, aku langsung hengkang ke Jakarta
bersama Paman, di hari keberangkatanku, ibu raib entah kemana, ah… persetan
dengannya! Untuk apa aku menunggunya? Apa aku harus sungkem pada orang yang
membuat hidupku yang baru dua belas tahun ini menanggung malu?
Atau aku harus sujud di bawah kaki budukan dan kasar
milik ibu? Itu tak mungkin.
Hari ini adalah hari kemerdekaanku, merdeka dari
penjajahan mahluk buruk rupa bermata satu yang selama dua belas tahun ini
kupanggil ibu. Aku tak ingin hari bersejarah ini ternoda oleh si mata satu itu.
Ketika aku menaiki mobil Paman, ada seseorang yang
memandangiku dari kejauhan dengan air mata yang mengalir di pipinya, wajah
bermata satu itu bergumam…
“Wahid… jangan pergi nak…”,
Sebuah rintihan yang tak pernan terdengar oleh telinga.
***
Itu kejadian 20 tahun yang lalu, sekarang umurku sudah
menginjak angka 33, aku telah memiliki segalanya, seorang istri yang kucintai,
dua jagoan kecil belahan hati, rumah mewah, mobil mentereng dan pundit-pundi
rupiah di rekeningku yang semakin menggendut.
Sekarang aku kaya raya. Menjadi seorang direktur
perusahaan energi kelas nasional membuat semua mimpiku jadi nyata,
“Tuan, ada surat
buat Tuan”, Satpam rumah menyodorkan sebuah amplop kepadaku.
“Dari siapa?”, tanyaku.
“Tidak tahu tuan, orang yang mengantarkan surat ini hanya menitip pesan, bahwa tuan harus datang”, Aku jadi
penasaran, ku ambil amplop itu, “Ya sudah, sana kembali kerja”.
Satpam itu berlalu, kembali ke pos kerjanya di pagar
rumah, aku membuka amplop itu, ternyata isinya adalah undangan reuni dari
almamater SD-ku dulu, disitu tertulis, bahwa reuni ini adalah reuni terakhir
sebelum sekolah itu benar – benar di ratakan.
***
Tanpa
sepengetahuan istriku, aku berangkat sendiri menghadiri reuni itu, aku ingin
membuktikan pada mereka yang dulu mengejekku, bahwa yang mereka ejek sekarang
adalah seorang eksekutif kaya raya.
Ketika aku sampai di bangunan tua itu, semua mata
memandangku takjub. Bagaimana tidak? Hanya aku alumni yang menunggang sedan dan
mengenakan jas resmi milik para eksekutif.
“Wahid?”, seseorang menyapaku.
“Maaf, anda siapa?”, tanyaku.
“Wahid, ini aku Fajar sepupumu”.
Aku menatap orang ini dalam-dalam, Fajar? Melihat
eksperesi wajahku yang tak jelas, ia langsung menghambur memelukku, aku hanya
diam saja diperlakukan seperti itu, Fajar melepas pelukannya, “Wahid, aku sudah
lama menunggu kesempatan ini, amanat ini harus di tunaikan, kamu harus pulang
ke rumahmu sekarang”.
“Apa maksudmu?”
“Yang penting kamu harus ke rumahmu sekarang juga!”
Fajar tersenyum padaku, lalu beranjak meninggalkanku. Ada apa sebenarnya? Tanpa ba-bi-bu, aku
meninggalkan tempat itu, dan bergegas menuju rumah.
***
Bangunan tua ini sedah tak bisa di sebut rumah lagi,
isinya kotor penuh debu, kemana gerangan mahluk buruk rupa itu? Aku memasuki
kamar ibu, kudapati kamar yang berantakan, kemana ibu? Sudah 20 tahun ku
tinggalkan, ah… ibu.
Di kasur kusam tipis milik ibu, kudapati sebuah foto
usang, dalam foto itu terlihat seorang laki-laki yang menggendong bayi berdiri
di sebelah ranjang tempat ibu berbaring, tapi ada yang aneh… siapa laki-laki
itu? Dan… siapa bayi yang digendongnya? Di
balik foto itu ada sebuah tulisan,
wahid, jika kau menemukan foto ini, bukalah laci di
dalam lemari ibu…
Bergegas ku buka lemari tua tempat ibu menyimpan
beberapa helai baju, ku buka laci yang dimaksud ibu, kutemukan selembar kertas
berisi tulisan tangan ibu…
Kepada putraku,
Wahid, yang paling ibu sayangi.
Nak, di hari-hari terakhir hembusan nafas ibu, tiada
hentinya ibu selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar engkau anakku,
selalu dalam rahmat, kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Nak, mungkin ketika
surat ini engkau baca, ibumu ini telah tiada, mungkin ibu telah di panggil
Tuhan untuk selamanya…
Wahid anakku,
Ibu hanya ingin bercerita, jika kau lihat foto di atas
kasur ibu, kau akan tahu rupa ayahmu, ketika kau lahir, ayah dan ibu sangat
bahagia, karena kau anakku adalah cahaya diantara gelap gulitanya kehidupan
dunia. Tapi sayang… kau lahir dengan satu kelainan, kau hanya memiliki satu
mata…
Ayahmu pontang-panting mencari uang untuk membayar
orang yang akan mendonorkan matanya kepadamu, tapi Tuhan berkehendak lain,
ayahmu yang hanya kuli bangunan itu jatuh dari lantai empat tempat kerjanya dan
tewas seketika…
Terdorong naluri sebagai seorang ibu, yang ingin
melihat anaknya dapat melihat dengan sempurna keindahan berjuta warna ciptaan
Tuhan, maka…
Ibu donorkan sebelah mata ibu untukmu.
Untukmu…
Wahid anakku…
Air mataku meleleh, merembes membasahi jas eksekutif
yang selama ini aku bangga-banggakan, aku remas surat itu, tak sanggup lagi kubaca bait-bait
kata yang di lantunkan ibu, sesaat terbayang wajah ibu yang tersenyum manis di
sekolah waktu itu, seketika isi kepala ku kosong, gelap dan…
Untuk
pertama kalinya, dari dalam lubuk hatiku… aku merasakan rasa rindu,
Rasa
rindu padamu,
Ibu…
entah apa yang
bisa kulukiskan,
entah apa yang bisa
kutuliskan,
untuk menggambar
dan menceritakan
tentang kasih
sayangmu,
ibu…
0 komentar: